MENGHAYATI IMAN DALAM JATUH BANGUN HIDUP BERSAMA
Oleh Gabriel Sandika Radya

Pada awal mulanya saya tidak pernah menyangka akan bersekolah sebagai seorang calon Imam SMAK Seminari St. Vincent de Paul Garum, Blitar. Saya juga tak setuju awalnya ketika ayah saya menyarankan saya untuk masuk kesana. Karena desakan ekonomi akhirnya saya mengiyakan saja. Saat itu saya berpikir bahwa biaya untuk melanjutkan studi si SMA mahal. Di Seminari pendidikan nya sangat bagus namun biaya nya terjangkau, itulah motivasi awal saya belajar saya disana, soal jadi Imam atau tidak itu kehendak Bapa.
Ketika saya telah menjadi seorang Seminaris (calon imam yang bersekolah di Seminari) kelas X, saya menjalani hidup yang tidak saya kehendaki, kehandak saya adalah bersekolah di SMA biasa dan tidak seperti yang saya jalani waktu itu. Saya merasa menjalani hidup di Seminari penuh kebohongan. Bagaimana  bisa saya selalu berkata bahwa saya ingin menjadi Imam ketika Romo selalu bertanya kepada saya. Hal inilah yang selalu membuat saya bersalah. Saya telah membohongi Romo dan Tuhan Allah sendiri. Disinalah iman saya teruji untuk mencari kebenaran sejati dalam hidup ini. Apa yang Tuhan Allah inginkan bagi hidup saya. Apa rencana Tuhan di balik semua ini, saya pun mencari semua itu dalam hidup doa.
Hidup doa saya sungguh berkembang ketika hidup di Seminari. Saya merasakan Tuhan Yesus selalu hadir dalam setiap langkah hidup saya. Pagi siang malam dan setiap hari saya berdoa dan merayakan Ekaristi disana. Karena waktu untuk berdoa sangat banyak disini saya mulai merenungkan arti semua ini. Tuhan telah begitu baik pada saya, sehingga Ia dapat hadir ketika saya berdoa padaNya. Inilah makna hidup doa yang saya alami ketika awal menjalani hidup di Seminari. Lewat hidup doa inilah motivasi saya untuk menjadi Imam saya murnikan disini. Yang semula saya hanya berpikir desakan ekonomi saya mulai mengubahnya menjadi jalan bagi saya yang disiapkan Tuhan untuk melayaninya menjadi Imam. Sebuah makna panggilan yang begitu indah saya rasakan. Pengalaman iman yang begitu menggugah saya untuk selalu bersemangat menjalani hidup sebagai seorang calon Pastor. Saya sangat bersukur kepada Tuhan, bahwa ternyata doa mengubah segalanya.
Akhirnya sedikit demi sedikit benih – benih panggilan mulai tumbuh dalam diri saya. Ketika benih - benih mulai ini tumbuh, banyak sekali tantangan yang terjadi pada diri saya. Tantangan dalam diri saya sendiri maupun dari luar diri saya. Dari dalam diri misalnya ketika saya selalu berdoa namun rasanya selalu hampa dan saya merasa Tuhan tak hadir dalam diri saya disinilah krisis iman yang saya alami. Saat masalah bertubi – tubi datang tak ada penyelesainan yang saya dapatkan. Masalah dari luar diri saya ketika kawan seperjuangan menjadi musuh saya ketika ada gesekan diantara kami. Hal inilah yang membuat saya merasa sedih, saya merasa teman bahkan Tuhan tak ada yang peduli dengan saya. Krisis iman yang saya alami ini terjadi ketika berada di kelas XI. Namun pada suatu ketika saya merenung dan berefleksi tentang pengalaman itu semua, dan akhirnya saya menemukan jawaban atas iman yang mengalami kekosongan ini. Tuhan sebenarnya selalu hadir dalam diri saya, saya hanya terlalu fokus untuk mencari penyelesaian setiap masalah dan tidak menyadari bahwa saya tidak berserah diri pada-Nya. Itulah refleksi iman saya sehingga saya sadar Tuhan Selalu ada ketika saya sungguh ingin menemuinya.
Ketika kelas XII saya melibatkan Tuhan dalam pilihan untuk lanjut ke tingkat terakhir di Seminari atau tidak. Saya berdoa mohon jalan. Akhrinya saya mendapatkan jawaban untuk memilih lanjut tidaknya saya ke tingkat IV, tingkat terakhir di Seminari Menengah St. Vincent de Paul Garum, Blitar. Ketika itu saya mendapat kunjungan dari keluarga saya, Ayah saya berkata bahwa bila saya mengundurkan diri saat kelas XII beliau tidak bisa menyekolahkan saya ke perguruan tinggi. Saya berefleksi bahwa Tuhan masih menghendaki saya untuk tetap melanjutkan hidup sebagai seorang calon Imam. Lewat pengalaman iman ini saya menyerahkan diri pada kehendak Tuhan. Saya pun melanjutkan kehidupan saya di seminari ke tingkat terakhir.
Sebagai tingkat terakhir di Seminari, banyak tantangan yang saya alami, bukan hanya hidup panggilan yang saya geluti namun juga kehidupan bersama di Seminari. Sebagai tingkat yang paling tinggi saya harus menjadi teladan yang baik bagi adik tingkat saya di Seminari. Kehidupan bersama di seminari saya refleksikan sebagai miniatur kecil kehidupan bermasyarat secara sederhana. Bagaimana saya harus bersikap dan bertingkah – laku dengan baik. Hal inilah yang membuat saya berkembang dalam berelasi dengan setiap orang. Saya dengan mudah beradaptasi dengan setiap orang dari segi usia hingga budaya serta segala perbedaan yang ada. Ilmu yang saya dapatkan dalam berelasi tidak instan namun melalui proses yang panjang dan melalui segala tantangan serta permasalahan.
Kemampuan berelasi yang saya dapatkan di Seminari membantu saya dalam tugas pelayan pastoral di sekolah dan di stasi. Waktu itu saya bertugas di SMPK Yohanes Gabriel Wlingi dan di stasi Genjong (arah Wlingi ke utara, daerah perbukitan). Ketika saya mengajar Katolisitas di SMP saya mengaplikasikan ilmu saya dalam berelasi, semisal ada anak yang kurang diperhatikan dalam hal pertemanan, saya mendekatinya dan berelasi dengannya untuk mendalami permasalahan serta segala tantangan nya ketika sekolah. Saya pun memberi motivasi serta semangat untuk terus maju. Dalam kehidupan di stasi saya juga saling berbagi pengalaman bersama umat. Ketika umat mengahadapi persoaalan hidup, saya berusaha memberikan solusi terbaik untuk menjadikan itu sebagai cara agar mereka tetap semangat menjalai hidup mereka. Sekali lagi Tuhan sungguh baik memberikan saya kesempatan berpastoral di tengah kehidupan jemaat stasi. Saya sungguh bersyukur kepadaNya.
Sampailah saya pada pilihan hidup untuk lanjut atau tidak di Seminari. Saat itu adalah akhir semester pertama di kelas IV. Melalui permenungan, doa, serta bimbingan rohani saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Seminari. Sungguh penglaman luar biasa saya dapatkan ketika hidup di seminari. Hidup doa dan Kemampuaan Berelasi yang saya maknai sebagai buah dari iman yang bertumbuh ketika saya mau di bentuk untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya pun keluar dari Seminari dengan bahagia dan tanpa ada beban.
Kehidupan di tengah masyarakat yang sesungguhnya saya alami saat saya sudah keluar dari Seminari. Saya tidak merasa terkejut ketika banyak tantangan serta masalah yang saya hadapi di masyarakat. Contoh kecilnya ketika banyak orang yang membicarakan saya karena saya dianggap gagal untuk menjadi seorang Imam. Saya menanggapinya dengan rendah hati dan tidak mencari kesalahan orang lain. Ketika saya diremehkan saya merendahkan diri dan mau mengikuti segala yang diperintahkan.
Kenyataan tentang hidup saya alami ketika saya bekerja. Relasi dengan rekan kerja serta atasan adalah tantangan yang cukup berat saya rasakan. Bagaimana seorang bawahan seperti saya mau taat pada atasan bilamana atasan terlalu berlebih dalam memberikan perkerjaan dan tidak peduli terhadap saya. Kerendahan hati sebagai rekan kerja untuk mau mengalah dan mendahulukan rekan kerja dalam hal apapun. Saya berusaha menjalaninya, walau silit dan kadang saya merasa sia – sia. Pernah juga hal negatif saya lampiaskan ketika hati nurani saya sudah tertutup emosi karena permasalahan. Hal ini menjadi refleksi saya bahwa dikala saya sudah berusaha menjadi pribadi yang rendah hati, masih ada sisi gelap yang saya punya. Dari hal ini saya berusaha mengolah emosi untuk menjadikan emosi sebagai sarana Tuhan mengingatkan saya untuk rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan yang padat.

Tuhan sungguh hadir dalam kehidupan bersama di masyarakat. Sunguh baik kasihNya sehingga saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dari kelas X SMA hingga saat ini saya berada di perguruaan tinggi. Semoga melalui segala pengalaman ini kehidupan bermasyarakat saya semakin berkembang dalam iman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHAN KATEKESE DEWASA "Menghayati Perayaan Ekaristi"

TOR Tawaran Rekoleksi Remaja Katolik